Khazanah-Dalam kehidupan bermasyarakat hendaknya kita menjauhi kedua sifat-sifat ini yaitu ghibah dan namimah,sebab jika kita memilihara sifat ini tentu kita akan dijauhi oleh masyarakat,bahkan keluarga dan tetangga dekat kita pun tak akan mau berteman dengan kita.nah berikut ini saya akan menjelaskan apa itu ghibah dan namimah,semoga bermanfaat dan bisa menambah ilmu pengetahuan para pembaca yang diridhoi oleh allah s.w.t
Ghibah
Ghibah adl penyakit hati yg memakan kebaikan mendatangkan keburukan serta membuang-buang waktu secara sia-sia. Penyakit ini meluas di masyarakat krn kurangnya pemahaman agama kehidupan yg semakin mudah dan banyaknya waktu luang. Kemajuan teknologi telepon misalnya juga turut menyebarkan penyakit masyarakat ini.
Hakekat Ghibah
Ghibah adalah membicarakan orang lain dengan hal yg tidak disenanginya bila ia mengetahuinya baik yang disebut-sebut itu kekurangan yang ada pada badan nasab tabiat ucapan maupun agama hingga pada pakaian rumah atau harta miliknya yang lain. Menyebut kekurangannya yang ada pada badan seperti mengatakan ia pendek hitam kurus dan lain sebagainya. Atau pada agamanya seperti mengatakan ia pembohong fasik munafik dan lain-lain. Kadangorang tidak sadar ia telah melakukan ghibah dan saat diperingatkan ia menjawab “ Yang saya katakan ini benar adanya!” Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan tegas menyatakan perbuatan tersebut adalah ghibah. Ketika ditanyakan kepada beliau bagaimana bila yg disebut-sebut itu memang benar adanya padaorang yg sedang digunjing-kan beliau menjawab “ Jika yg engkau gunjingkan benar adanya pada orang tersebut maka engkau telah melakukan ghibah dan jika yg engkau sebut tidak ada pada orang yg engkau sebut maka engkau telah melakukan dusta atasnya.”
Ghibah tidak terbatas dengan lisan saja namun juga bisa terjadi dengan tulisan atau isyarat seperti kerdipan mata gerakan tangan cibiran bibir dan sebagainya. Sebab intinya adl memberitahukan kekurangan seseorang kepadaorang lain. Suatu ketika ada seorang wanita datang kepada ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Ketika wanita itu sudah pergi ‘Aisyah mengisyaratkan dgn tangannya yg menunjukkan bahwa wanita itu berbadan pendek. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lantas bersabda “Engkau telah melakukan ghibah!” Semisal dengan ini adalah gerakan memperagakan orang lain seperti menirukan cara jalan seseorang cara berbicaranya dan lain-lain. Bahkan yang demikian ini lebih parah daripada ghibah karena di samping mengandung unsur memberitahu kekurangan orang juga mengandung tujuan mengejek atau meremehkan.
Tak kalah meluasnya adl ghibah dgn tulisan karna tulisan adala lisan kedua. Media massa sudah tidak segan dan malu-malu lagi membuka aib seseorang yg paling rahasia sekalipun. Yang terjadi kemudian sensor perasaan malu masyarakat menurun sampai pada tingkat yang paling rendah. Aib tidak lagi dirasakan sebagai aib yg seharusnya ditutupi perbuatan dosa menjadi makanan sehari-hari.
Macam dan Bentuk Ghibah Ghibah mempunyai berbagai macam dan bentuk yg paling buruk adl ghibah yg disertai dgn riya’ seperti mengatakan “Saya berlindung kepada Allah dari perbuatan yg tidak tahu malu semacam ini semoga Allah menjagaku dari perbuatan itu.” padahal maksudnya mengungkapkan ketidaksenangannya kepada orang lain namun ia menggunakan ungkapan doa utk mengutarakan maksudnya. Kadang orang melakukan ghibah dgn cara pujian seperti mengatakan “Betapa baik orang itu tidak pernah meninggalkan kewajibannya namun sayang ia mempunyai perangai seperti yg banyak kita miliki kurang sabar.” Ia menyebut juga dirinya dgn maksud mencela orang lain dan mengisyaratkan dirinya termasuk golongan orang-orang shalih yg selalu menjaga diri dari ghibah. Bentuk ghibah yg lain misalnya mengucapkan “Saya kasihan terhadap teman kita yg selalu diremehkan ini. Saya berdoa kepada Allah agar dia tidak lagi diremehkan.” Ucapan semacam ini bukanlah doa krn jika ia menginginkan doa untuknya tentu ia akan mendoakannya dalam kesendiriannya dan tidak menguta-rakannya semacam itu.
Ghibah yg Diperbolehkan Tidak semua jenis ghibah dilarang dalam agama. Ada beberapa jenis ghibah yg diperbolehkan yaitu yg dimaksudkan utk mencapai tujuan yg benar dan tidak mungkin tercapai kecuali dgn ghibah.
Setidaknya ada enam jenis ghibah yg diperbolehkan yaitu:
Pertama Melaporkan perbuatan aniaya. Orang yg teraniaya boleh mela-porkan kepada hakim dgn mengatakan ia telah dianiaya oleh seseorang. Pada dasarnya ini adl perbuatan ghibah namun krn dimaksudkan utk tujuan yg benar maka hal ini diperbolehkan dalam agama.
Kedua Usaha utk mengubah kemungkaran dan membantu seseorang keluar dari perbuatan maksiat seperti mengutarakan kepada orang yg mem-punyai kekuasaan utk mengubah kemungkaran “Si Fulan telah berbuat tidak benar cegahlah dia!” Maksudnya adl meminta orang lain utk mengubah kemungkaran. Jika tidak bermaksud demikian maka ucapan tadi adl ghibah yg diharamkan.
Ketiga Untuk tujuan meminta nasehat. Misalnya dgn mengucapkan “Ayah saya telah berbuat begini kepada saya apakah perbuatannya itu diperbolehkan? Bagaimana caranya agar saya tidak diperlakukan demikian lagi? Bagaimana cara mendapatkan hak saya?” Ungkapan demikian ini diperbolehkan. Tapi lbh selamat bila ia mengutarakannya dgn ungkapan misalnya “Bagaimana hukum-nya bila ada seseorang yg berbuat begini kepada anaknya apakah hal itu diperboleh-kan?” Ungkapan semacam ini lbh selamat krn tidak menyebutorang tertentu.
Keempat Untuk memperingatkan atau menasehati kaum muslimin . Contoh dalam hal ini adl jarh yg dilakukan para ulama hadits. Hal ini diper-bolehkan menurut ijma’ ulama bahkan menjadi wajib krn mengandung masla-hat utk umat Islam.
Kelima Bila seseorang berterus terang dgn menunjukkan kefasikan dan kebid’ahan seperti minum arak berjudi dan lain sebagainya maka boleh menyebut seseorang tersebut dgn sifat yg dimaksudkan namun ia tidak boleh menyebutkan aib-aibnya yg lain.
Keenam Untuk memberi penjelasan dgn suatu sebutan yg telah masyhur pada diri seseorang. Seperti menyebut dgn sebutan si bisu si pincang dan lainnya. Namun hal ini tidak diperbolehkan bila dimaksudkan utk menunjukkan kekurangan seseorang. Tapi alangkah baiknya bila memanggilnya dgn julukan yg ia senangi.
Taubat dari Ghibah Menurut ijma’ ulama ghibah termasuk dosa besar. Pada dasarnya orang yg melakukan ghibah telah melakukan dua kejahatan; kejahatan terhadap Allah Ta’ala krn melakukan perbuatan yg jelas dilarang olehNya dan kejahatan terhadap hak manusia. Maka langkah pertama yg harus diambil utk menghindari maksiat ini adl dgn taubat yg mencakup tiga syaratnya yaitu meninggalkan perbuatan maksiat tersebut menyesali perbuatan yg telah dilakukan dan berjanji utk tidak melakukannya lagi. Selanjutnya harus diikuti dgn langkah kedua utk menebus kejahatannya atas hak manusia yaitu dgn mendatangiorang yg digunjingkannya kemudian minta maaf atas perbuatannya dan menunjuk-kan penyesalannya. Ini dilakukan bila orang yg dibicarakannya mengetahui bahwa ia telah dibicarakan. Namun apabila ia belum mengetahuinya maka bagi yg melakukan ghibah atasnya hendaknya mendoakannya dgn kebaikan dan berjanji pada dirinya sendiri utk tidak mengulanginya.
Kiat Menghindari Ghibah Untuk mengobati kebiasaan ghibah yg merupakan penyakit yg sulit dideteksi dan sulit diobati ini ada beberapa kiat yg bisa kita lakukan.
Pertama Selalu mengingat bahwa perbuatan ghibah adl penyebab kemarahan dan kemurkaan Allah serta turunnya adzab dariNya.
Kedua Bahwasanya timbangan kebaikan pelaku ghibah akan pindah kepada orang yg digunjingkannya. Jika ia tidak mempunyai kebaikan sama sekali maka diambilkan dari timbangan kejahatan orang yg digunjingkannya dan ditambahkan kepada timbangan kejahatannya. Jika mengingat hal ini selalu niscaya seseorang akan berfikir seribu kali utk melakukan perbuatan ghibah.
Ketiga Hendaknya orang yg melakukan ghibah mengingat dulu aib dirinya sendiri dan segera berusaha memperbaikinya. Dengan demikian akan timbul perasaan malu pada diri sendiri bila membuka aiborang lain sementara dirinya sendiri masih mempunyai aib.
Keempat Jika aib orang yg hendak digunjingkan tidak ada pada dirinya sendiri hendaknya ia segera bersyukur kepada Allah krn Dia telah menghindarkannya dari aib tersebut bukannya malah mengotori dirinya dgn aib yg lbh besar yg berupa perbuatan ghibah.
Kelima Selalu ingat bila ia membicarakan saudaranya maka ia seperti orang yg makan bangkai saudaranya sendiri sebagaimana yg difirmankan Allah “Dan janganlah sebagian kamu menggunjingkan sebagian yg lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yg sudah mati?”
Keenam Hukumnya wajib mengi-ngatkan orang yg sedang melakukan ghibah bahwa perbuatan tersebut hukum-nya haram dan dimurkai Allah.
Ketujuh Selalu mengingat ayat-ayat dan hadits-hadits yg melarang ghibah dan selalu menjaga lisan agar tidak terjadi ghibah.
Namimah
Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan bahwa namimah adalah mengutip suatu perkataan dengan tujuan untuk mengadu domba antara seseorang dengan si pembicara. Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalaani rahimahullah mengatakan bahwa namimah tidak khusus itu saja. Namun intinya adalah membeberkan sesuatu yang tidak suka untuk dibeberkan. Baik yang tidak suka adalah pihak yang dibicarakan atau pihak yang menerima berita, maupun pihak lainnya. Baik yang disebarkan itu berupa perkataan maupun perbuatan. Baik berupa aib ataupun bukan.
Hukum dan Ancaman Syariat Terhadap Pelaku Namimah
Namimah hukumnya haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Banyak sekali dalil-dalil yang menerangkan haramnya namimah dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya, “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah.”(QS.AlQalam:10-11)
Dalam sebuah hadits marfu’ yang diriwayatkan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu disebutkan, “Tidak akan masuk surga bagi Al Qattat (tukang adu domba).” (HR. Al Bukhari)
Ibnu Katsir menjelaskan, “Al qattat adalah orang yang menguping (mencuri dengar pembicaraan) tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa pembicaraan tersebut kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba.”
Perkataan “Tidak akan masuk surga…” sebagaimana disebutkan dalam hadist di atas bukan berarti bahwa pelaku namimah itu kekal di neraka. Maksudnya adalah ia tidak bisa langsung masuk surga. Inilah madzhab Ahlu Sunnah wal Jama’ah untuk tidak mengkafirkan seorang muslim karena dosa besar yang dilakukannya selama ia tidak menghalalkannya (kecuali jika dosa tersebut berstatus kufur akbar semisal mempraktekkan sihir -ed).
Pelaku namimah juga diancam dengan adzab di alam kubur. Ibnu Abbas meriwayatkan, “(suatu hari) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan lalu berkata, lalu bersabda, “Sesungguhnya penghuni kedua kubur ini sedang diadzab. Dan keduanya bukanlah diadzab karena perkara yang berat untuk ditinggalkan. Yang pertama, tidak membersihkan diri dari air kencingnya. Sedang yang kedua, berjalan kesana kemari menyebarkan namimah.” (HR. Al-Bukhari)
Sikap Terhadap Pelaku Namimah
Imam An-Nawawi berkata, “Dan setiap orang yang disampaikan kepadanya perkataan namimah, dikatakan kepadanya: “Fulan telah berkata tentangmu begini begini. Atau melakukan ini dan ini terhadapmu,” maka hendaklah ia melakukan enam perkara berikut:
1. Tidak membenarkan perkataannya. Karena tukang namimah adalah orang fasik.
2. Mencegahnya dari perbuatan tersebut, menasehatinya dan mencela perbuatannya.
3. Membencinya karena Allah, karena ia adalah orang yang dibenci di sisi Allah. Maka wajib membenci orang yang dibenci oleh Allah.
4. Tidak berprasangka buruk kepada saudaranya yang dikomentari negatif oleh pelaku namimah.
5. Tidak memata-matai atau mencari-cari aib saudaranya dikarenakan namimah yang didengarnya.
6. Tidak membiarkan dirinya ikut melakukan namimah tersebut, sedangkan dirinya sendiri melarangnya. Janganlah ia menyebarkan perkataan namimah itu dengan mengatakan, “Fulan telah menyampaikan padaku begini dan begini.” Dengan begitu ia telah menjadi tukang namimah karena ia telah melakukan perkara yang dilarang tersebut.”.
Bukan Termasuk Namimah
Apakah semua bentuk berita tentang perkataan/perbuatan orang dikatakan namimah? Jawabannya, tidak. Bukan termasuk namimah seseorang yang mengabari orang lain tentang apa yang dikatakan tentang dirinya apabila ada unsur maslahat di dalamnya. Hukumnya bisa sunnat atau bahkan wajib bergantung pada situasi dan kondisi. Misalnya, melaporkan pada pemerintah tentang orang yang mau berbuat kerusakan, orang yang mau berbuat aniaya terhadap orang lain, dan lain-lain. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Jika ada kepentingan menyampaikan namimah, maka tidak ada halangan menyampaikannya. Misalnya jika ia menyampaikan kepada seseorang bahwa ada orang yang ingin mencelakakannya, atau keluarga atau hartanya.”
Pada kondisi seperti apa menyebarkan berita menjadi tercela? Yaitu ketika ia bertujuan untuk merusak. Adapun bila tujuannya adalah untuk memberi nasehat, mencari kebenaran dan menjauhi/mencegah gangguan maka tidak mengapa. Akan tetapi terkadang sangat sulit untuk membedakan keduanya. Bahkan, meskipun sudah berhati-hati, ada kala niat dalam hati berubah ketika kita melakukannya. Sehingga, bagi yang khawatir adalah lebih baik untuk menahan diri dari menyebarkan berita.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Seseorang selayaknya memikirkan apa yang hendak diucapkannya. Dan hendaklah dia membayangkan akibatnya. Jika tampak baginya bahwa ucapannya akan benar-benar mendatangkan kebaikan tanpa menimbulkan unsur kerusakan serta tidak menjerumuskan ke dalam larangan, maka dia boleh mengucapkannya. Jika sebaliknya, maka lebih baik dia diam.”
Bagaimana Melepaskan Diri dari Perbuatan Namimah
Janganlah rasa tidak suka atau hasad kita pada seseorang menjadikan kita berlaku jahat dan tidak adil kepadanya, termasuk dalam hal ini adalah namimah. Karena betapa banyak perbuatan namimah yang terjadi karena timbulnya hasad di hati. Lebih dari itu, hendaknya kita tidak memendam hasad (kedengkian) kepada saudara kita sesama muslim. Hasad serta namimah adalah akhlaq tercela yang dibenci Allah karena dapat menimbulkan permusuhan, sedangkan Islam memerintahkan agar kaum muslimin bersaudara dan bersatu bagaikan bangunan yang kokoh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, saling bermusuhan, dan janganlah kamu menjual barang serupa yang sedang ditawarkan saudaramu kepada orang lain, dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim)
Berusaha dan bersungguh-sungguhlah untuk menjaga lisan dan menahannya dari perkataan yang tidak berguna, apalagi dari perkataan yang karenanya saudara kita tersakiti dan terdzalimi. Bukankah mulut seorang mukmin tidak akan berkata kecuali yang baik.
Semoga Allah Ta’ala selalu melindungi kita dari kejahatan lisan kita dan tidak memasukkan kita ke dalam golongan manusia yang merugi di akhirat dikarenakan lisan yang tidak terjaga, “Allahumma inni a’uudzubika min syarri sam’ii wa min syarri bashori wa min syarri lisaanii wa min syarri maniyyii.” (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari kejahatan pendengaranku, penglihatanku, lisanku, hatiku dan kejahatan maniku.) (kha/odn)