[Khazanah]:Di zaman para sahabat, ada dua orang bersaudara penyembah api, suatu kali saling bercakap-cakap: “Leluhur kita selalu menyembah api, sebagaimana juga kita. Mari kita letakkan tangan-tangan kita ke dalam api yang kita sembah. Apabila ia membakar tangan kita, kita akan berhenti menyembahnya. Suatu agama dan kepercayaan baru telah lahir, dengan demikian mari kita mencari tahu tentangnya dan memeluknya. Mari kita beriman kepada Nabi yang telah membawa agama dan kepercayaan baru.”
Mereka lalu meletakkan tangan mereka di dalam api dan tangan mereka terbakar. Mereka lalu meletakkannya sekali lagi dan berkata: “Hai api, jika engkau Tuhan, jangan bakar tangan-tangan kami.” Tangan mereka terbakar lagi: “Jika ia Tuhan kita, niscaya tidak akan membakar tangan-tangan kita,” dan mereka pergi untuk mencari tahu tentang Islam dengan menyusuri jalanan menuju masjid kaum Muslim di sebuah kota. Di tengah perjalanan, si kaka berkata kepada si adik, “Aku tidak akan melanjutkan perjalanan ini. Aku tidak akan meninggalkan agama dan kepercayaan leluhurku.” Ia selanjutnya pulang, tetapi si adik berkata, “Aku akan berupaya dan berikhtiar mencari dan menemukan kebenaran,” selanjutnya ia masuk ke dalam masjid dan kemudian duduk bersila.
Tidak lama kemudian, Malik bin Dinar memberikan ceramah. Orang-orang berkumpul dengan tidak memandang tingkatan sosial masyarakat, orang kaya duduk di sebelah orang miskin, prajurit duduk di sebelah jenderal, yang jelek duduk di samping yang rupawan, dan si sehat duduk di samping si sakit, orang kulit hitam duduk di depan orang kulit putih, budak di muka majikan, dan semuanya berada dalam suasana persaudaraan. Di dalam masjid, orang miskin tidak dilontarkan dan ditempatkan di jajaran belakang. Setiap orang yang duduk bersentuhan lutut dengan lutut, dan pada saat yang sama mendengarkan penceramah yang memberikan nasihat sebagaimana seorang bapak yang menuturkan kata dengan lembut.
Meskipun [terdapat] tamu ini, ‘sang penyembah api’, mereka tidak mengatakan sesuatu pun kepadanya, tetapi menerima saja di tengah-tengah mereka dan menyambutnya dengan hangat. Semua ini menunjukkan dengan jelas agama dan kepercayaan yang ingin dipilihnya. Tidak ada perbedaan antara orang miskin dan orang kaya. Ketika sang penceramah menyampaikan ucapan-ucapan indah tentang keutamaan orang beriman yang akan memperoleh takdir baik yang besar hingga sebuah mahkota dihiaskan di kepalanya.
Ketika ceramah usai, pemuda tersebut berdiri dan berkata, “Ya ‘alim yang berpengetahuan dalam, bimbinglah aku menuju kebenaran; aku seorang penyembah api tetapi aku datang untuk menerima kebenaran. Ajarkan kepadaku keimanan dan Islam.” Malik bin Dinar ra berkata, “Anda harus mengatakan dan meyakini dalam hati: Tuhan adalah Satu, tidak ada tuhan lain yang pantas disembah, dan Muhammad saw adalah Rasul-Nya.” Ia selanjutnya bersyahadat dan beralih menjadi seorang yang beriman dan menganut agama monoteis, lalu ia melafalkan kalimat tauhi: “Asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh” (aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya).
Kemudian Malik bin Dinar menyampaikan lagi, “Anda harus beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para Rasul, takdir baik dan buruk yang berasal dari Allah, dan percaya pada kebenaran kebangkitan setelah kematian.” “Aku meyakini, aku menerima,” ia berkata, “Semuanya, sesungguhnya menunjukkan kebenaran.” Lalu ia diberitahu, “Anakku, engkau mesti melaksanakan shalat lima waktu. Puasa di bulan Ramadhan. Jika engkau memiliki cukup harta keluarkan seperempat puluh kekayaanmu untuk orang miskin, dan jika mampu tunaikanlah haji sekali dalam seumur hidupmu.” Mendengar hal ini, ia berkata, “Aku menerima semua ini, tetapi aku miskin, bagaimana caraku membayar zakat dan menunaikan haji?” Malik bin Dinar berkata, “Ketika engkau sudah kaya.” Lalu pemuda mualaf itu menjawab, “Sungguh tidak ada keberatan bagiku.”
Hadirin yang hadir dalam majelis mendengarkan percakapan ini dalam keterpesonaan. Malik bin Dinar berkata, “Saat Anda miskin, tetepi kita smeua sekarang bersaudara; biarkan saudara-saudara Anda membantu Anda.” Tetapi, pemuda ini mengajukan protes, “Ampun ya Imam! Ampuni aku, jika aku menolak bantuan yang Anda tawarkan, karena aku kini memiliki iman kepada Allah dan telah menjadi seseorang yang meyakini kebenaran. Allah pasti tidak akan membiarkan aku bersedih dan miskin bahkan ketika aku menjadi seorang musyrik, dengan demikian Allah tampaknya tidak akan membiarkan aku miskin, karena aku hamba-Nya. Terima kasih, aku masih sehat wal afiat dan masih mampu. Aku akan bekerja dan mencari nafkah dengan caraku.” Lalu ia pulang.
Sepanjang perjalanan, yang ada di pikirannya adalah bagaimana reaksi istrinya jika mengetahui dirinya telah bertobat dan memeluk Islam. Apa yang akan ia katakan dan bagaimana ia nanti menanggapinya? Bagaimana dengan anak dan perkwainan, apakah akan berantakan dan karam di tengah jalan? Ketika pikirannya terus saja bergumul, ia berdoa, “Ya Allah, anugerahkan keimanan ke dalam hati istriku, antarkan ia menuju Islam dan mahkotai ia dnegan keimanan baru.”
Saat ia tiba di rumahnya, ia masuk untuk berjumpa dnegan anak-anaknya. Ketika mereka memandang bapaknya, mereka berlari menjumpainya dan ia merangkul mereka, sementara sang ibu memandang dalam keterpesonaan. Lalu ia duduk untuk makan sesuatu yang telah diberkahi Allah dan melakukan shalat Isya di masjid, dengan demikian malam telah larut. Saat keduanya mengantarkan anak-anak mereka menuju tempat tidur dan bersiap-siap tidur, ia berkata, Mari kita duduk lebih lama dan berbicara, sayang! Aku memiliki sebuah persoalan penting yang harus aku bicarakan denganmu,” dan ia memberitahukan segala sesuatu yang telah berlangsung.
“Aku telah beralih menjadi seorang Muslim. Bagaimana pendapatmu tentang hal ini?” Doanya diterima, istrinya mendengarka dengan bahagia dan berkata, “Jika engkau menginginkan aku memeluk Islam, aku akan menjadi seorang Muslim pula. Engkau adalah kekasihku, asal-usul kebahagiaanku. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Di mana pun engkau berada, aku akan berada di sana. Di mana pun hatimu berada, hatiku terpaut di sana. Kita harus bersama-sama menuju surga dan neraka.” Ia lalu mengajar istrinya segala sesuatu yang telah ia pelajari. Bersama-sama mereka dengan persaan cinta kasih melafalkan kalimat syahadat dan beralih menjadi seorang Muslim pula. Mereka kemudian tidur sampai waktu shalat Subuh tiba.
Lalu, ia membangunkan istrinya dan segera menuju masjid. Saat ia sampai, masjid sudah dibuka. Sang muazin melantunkan shalawat dalam suara yang bersemangat, sementara orang-orang beriman berdatangan satu-satu dan dua-dua, dengan melantunkan shalawat dan menyatakan keagungan dan keesaan Tuhan. Sebagian dari mereka mengambil wudhu di mata air wudhu, sementara sebagian lain mulai melaksanakan shalat dan bersujud di hadapan Allah. Masjid tersebut tampak bagaikan surga. Ia bersyukur Allah telah menaburkan hidayah Islam di hatinya. Betapa bahagianya menjadi seorang Muslim.
Sebagaimana orang beriman yang lain, ia melakukan shalat sunnat dua rakaat sebelum shalat jamaah dimulai. Mereka semua saling mencurahkan perhatian dan menyiapkan diri dalam jajaran dan berdiri dengan hati dalam kedamaian. Paling tidak diperlukan lima puluh petugas yang harus mengatur demikian banyak orang dalam shaf. Sementara para prajurit bersama para perwira yang membawahinya bahwkan biasanya makan waktu tujuh menit untuk berada dalam barisan, kaum Muslim mengukuhkan peringkat mereka secara cepat. Shalat dimulai, takbir dan tasbih mulai dilantunkan dan doa dipermohonkan. Setiap orang mengangkat kedua telapak tangannya yang terbuka dalam mengajukan permohonan kepada Allah. Dan pemuda tadi yang tidak diketahui namanya juga mengajukan permohonan kepada Allah.
Ketika ia meninggalkan masjid dan pergi menuju pasar, tempat seluruh pekerja yang menawarkan jasa untuk memperoleh gaji harian. Ia menunggu suatu pekerjaan. Hari tersebut adalah hari ketika sejumlah orang berupaya memperoleh pekerjaan. Setiap orang lain memperoleh pekerjaan dan dipanggil untuk melaksanakannya, tetapi tampaknya tak seorang pun yang mengetahui lelaki yang belum lama memeluk Islam ini. Orang yang padanya ia bekerja sebelum ini bahkan, dan yang merasekan kepuasan dengan pekerjaannya, datang dan memilih orang lain. Seolah-olah mereka tidak mengetahui dan sesungguhnya demikian halnya.
Akhirnya pasar snyap dan keadaan menjadi sepi. Ia menunggu di sana sendirian, hingga azan untuk shalat Zuhur dikumandangkan. Saat ia mendengar panggilan menuju shalat, ia mengambil wudhu dan pergi menuju masjid. Setelah shalat, ia menuju tempat yang sama lagi. Kalau saja ada orang yang memerlukan tenaga porter pengangkat barang, ia pasti akan menerimanya dan ia niscaya akan memperoleh nafkah untuk memberi makan anak-anaknya, tetapi ia menunggu dan menunggu dalam kesia-siaan. Lalu waktu shalat Ashar tiba. Ia pergi menuju masjid untuk melaksanakan tanggung jawab agamanya, selanjutnya berkeliling di pasar dan berseru, “Aku adalah seorang kuli angkut, adakah seseorang yang menginginkan sesuatu yang perlu aku angkat?” Tetapi tidak ada pekerjaan untuknya.
Azan shalat Maghrib dikumandangkan. Lalu, ia mengambil wudhu dan pergi menuju masjid. Setelah shalat, setiap orang pulang. Hanya ia saja yang berdiri, dan menunggu masuk waktu shalat Isya sebelum akhirnya pulang. Tidak ada sesuatu pun untuk dimakan. Apa yang akan ia katakan? Bagaimana ia memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak-anaknya? Bagaimana ia mampu berbicara kepada mereka? Anak-anak tidak akan mengerti. Sesampainya ia di rumah, anak-anak telah tertidur. Ia tidak memiliki sesuatu apa pun untuk ditawarkan kepada istrinya: “Apa kita punya roti? Anak-anak sudah tidur dalam keadaan lapar,” ia berkata. “Istriku sayang, aku tidak memperoleh gaji dari orang yang untuknya aku bekerja hari ini. Tetapi insya’ Allah, aku akan mendapatkan gaji esok lusa. Jika engkau telah melaksanakan shalat, mari kita pergi tidur.”
Ia tidak bisa tidur, dan segera berangkat ke masjid di pagi buta. Ketika ia selesai shalat, ia pergi ke pasar. Sekali lagi, tidak ada pekerjaan untuknya. Ia melaksanakan shalat Zuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya dan menghabiskan waktu selebihnya dengan berupaya mencari pekerjaan, dan tetap tidak memperoleh hasil. Sebelum pulang, ia mengambil beberapa potong roti yang ditinggalkan di depan sebuah rumah makan. Ia melihat anak-anaknya menangis, “Roti, roti.” Ia menjelaskan kepada istrinya bahwa ia telah bekerja lagi untuk orang yang sama sebagaimana kemarin, tetapi masih belum memperoleh gaji. Mereka makan remah roti; kemudian, ia merangkul anak-anaknya dan mengantarnya tidur.
Ketika waktu pagi telah datang, ia bergegas menuju masjid sebelum panggilan shalat dan kemudian mendirikan shalat berjamaah. Lalu ia pergi menuju tempat biasa untuk mencari pekerjaan. Tak seorang pun yang mengamatinya. Meski orang lain memperoleh pekerjaan, tetapi tidak ada pekerjaan untuknya. Tidak ada yang mempedulikannya. Orang-orang seperti tidak mengetahui dan mengenalinya. Ia berdiri hingga tengah hari, kelaparan dan disergap lelah. Kelaparan menghitamkan kedua matanya.
Azan shalat Zuhur berkumandang, ia pergi menuju masjid dan berdiri di hadapan Allah. Setelah shalat, sekali lagi ia pergi mencari pekerjaan, tetapi sekali lagi hasilnya nihil dan abstrak. Lalu azan shalat Ashar dikumandangkan, ia pergi lagi menuju masjid dan setelah shalat usai, ia menarik nafas panjang dan bersujud, dan menangis tersedu dan berseru, “Ya Allah, Engkau tidak pernah menyebabkanku ketika aku menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang lain. Sungguh, Engkau tidak akan menyebabkanku mati kelaparan, karena aku kini telah beralih menjadi hamba-Mu. Meski Engkau menyebabkanku mati kelaparan, meski Engkau menimpakan seratus ribu kepedihan pada setiap anggota badanku, aku tidak akan berpaling dari-Mu. Aku tidak akan mengkhianati keimananku kepada-Mu. Engkau Maha Mengetahui hatiku. Ini adlaah ujian untuk mengajar hamba-Mu ini suatu pelajaran. Ini adalah cara-Mu menunjukkan betapa aku bergantung kepada-Mu. Tetapi, aku mengkhawatirkan anak dan istriku, kalau-kalau keimanannya melemah.”
Ia bertobat kepada Allah, berkenaan dengan masa-masa ketika ia menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain. Ia memohon ampunan. Ketika ia bermunajat, keluarlah air mata dan teriakan raungan batin. Lalu seorang malaikat diperintahkan Allah menjelma dalam wujud manusia dan membawa serta sekantong emas, kemudian mengirimkannya ke rumah laki-laki tersebut. Ia mengetuk pintu dan ketika penghuni rumah keluar, sang malaikat jelmaan tadi berkata, “Bu, tolong beritahu suamimu bahwa majikannya sangat berbahagia atas pekerjaannya dan berkehendak agar ia melanjutkannya. Sepanjang dua hari ini ia belum menerima gaji. Terimalah ini.” Segera setelah ia berucap, dan kemudian sang malaikat pun sirna. Wanita tersebut membuka kantong tersebut. Betapa takjubnya ia dan ternyata jumlahnya bukan saja cukup untuk sepanjang sisa hidupnya, tetapi cukup untuk anak-anaknya juga.
“Sungguh majikan yang dermawan,” ia berpikir dalam keterpesonaan dan disertai rasa haru bercampur bahagia. Seorang raja bahkan tidak akan memberikan kekayaan seperti ini pada seorang laki-laki yang telah dipekerjakannya sepanjang dua hari. Alangkah ia seorang majikan yang baik hati. Keduanya menteskan air mata bahagia saat ia mengambil sekeping emas dan menukarkannya dengan uang di tempat penukaran uang. Pemilik tempat penukaran uang yang kafir meneliti kualitas emas tersebut dan belum pernah melihat sesuatu seperti ini. Ia sesungguhnya emas murni, tidak sebagaimana emas-emas yang lain di dunia. Terukir huruf-huruf bercahaya tentang penegasan tentang keesaan Allah. Ia membalikkan emas tersebut berulang kali dan bertanya, “Di mana Anda menemukan emas seperti ini?” Wanita tersebut menjelaskan bahwa suaminya bekerja di suatu tempat, entah di mana, dan emas ini diberikan sebagai gaji. Si kafir tersebut seseorang yang memiliki pengetahuan yang dlaam tentang “Kitab Suci”. Ia memberitahu wanita ini bahwa suaminya harus datang dan menjumpainya. Ia membayar emas tersebut untuk jumlah yang besar dan wanita ini berbahagia. Lalu ia pulang dan membeli daging dan buah-buahan, memberi makan anak-anaknya dan menyajikan makanan yang lezat untuk suaminya.
Sang istri tampaknya tak sabar menanti suaminya. Suaminya belum mengetahui hal ini. Ia masih menangis di dalam hati, karena belum mendapat pekerjaan dan upah untuk menafkahi anak istri. Matahari tenggelam dan ia mulai mendirikan shalat. Lalu tinggal di dalam masjid, mendengarkan al-Qur’an sampai waktu shalat Isya tiba. Setelah shalat Isya, ia keluar menuju jalan tempat ia mengumpulkan segenggam pasir dan menempatkannya dalam sapu tangan. Ia memenuhi satu sapu tangan lain dengan bebatuan, dan sleanjutnya pulang. Para tetangganya adalah penyembah api dan ia tidak mungkin membiarkan mereka melihatnya pulang dengan tangan hampa sepanjang tiga hari berturut-turut. Rumahnya kian dekat. Lampu dinyalakan dan anak-anak tengah asyik bermain bersama. Aroma makanan yang segar menguap dari rumahnya. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah istrinya telah pergi mengemis? Apakah mungkin ia mengemis kepada keluarganya, siapakah yang ramah kepada keimanan mereka? Ia masuk dalam keadaan marah, dan bersiap-siap memporak-porandakan segala sesuatu.
Saat istrinya menyambutnya dengan hati gembira dan anak-anaknya bergelayut di kakinya dan berseru, “Bapak telah pulang,” ia berkata lantang dengan alis berkerut, “Dari mana engkau memperoleh semua ini? Beritahukan kepadaku, dari mana engkau memperolehnya?” Ia melontarkan sapu tangan yang dipegangnya di balik pintu. “Alangkah suatu dosa,” kata istrinya, “Mengapa engkau melontarkan roti dan tepung di lantai?” Ketika ia mengambil roti dan berupaya membersihkan tepung, lelaki tersebut terpesona. Ia bertanya-tanya dalam hati apakah ia tengah bermimpi. Yang ada di dalam sapu tangan sebelum ini adalah pasir dan bebatuan. Tetapi, tidak, bebatuan tersebut kini adalah roti, dan segar dan hangat pula, dan pasir telah beralih menjadi tepung, dan berkualitas paling baik.
Lelaki tersebut tidak mampu keluar dari keterpesonaannya. Selanjutnya, istrinya mulai berkata, “Alangkah peruntungan yang baik! Alangkah Ia seorang majikan yang luar biasa. Seseorang yang untuknya engkau bekerja mengirimkan orangnya hari ini untuk memberi kita gajimu, dan memberitahumu bahwa Ia berbahagia dengan cara kerjamu untuknya, dan telah menaikkan gajimu agar engkau melanjutkan pekerjaan tersebut.”
Laki-laki tersebut baru mengetahui apa yang telah berlangsung dan mengapa bebatuan beralih menjadi roti, pasir menjadi tepung. Ia mengucapkan syukur alhamdulillah. Kemudia ia berkata, “Hai istriku, sahabatku tersayang,“ dan ia memberitahu apa yang sebenarnya terjadi terhadap dirinya. Ia memberitahu istrinya bahwa majikannya bukan seorang manusia melainkan Allah swt. Tidak lain dari Allah, mereka menerima pahala dikarenakan iman mereka. Wanita tersebut, selanjutnya pergi menjumpai pemilik tempat penukaran uang. Ketika pemilik tempat penukar uang mengetahui misteri peristiwa ini, ia pun beriman kepada Allah dan memperoleh keselamatan dunia dan akhirat.
———————————————————————————————————————————
Versi 2
(Sumber: Imam Ahmad Ibnu Nizar, “Nabi Sulaiman dan Burung Hudhud”, Yogyakarta: DIVA Press, Cet. I, Mei 2009, hal. 70-79)
(Sumber: Imam Ahmad Ibnu Nizar, “Nabi Sulaiman dan Burung Hudhud”, Yogyakarta: DIVA Press, Cet. I, Mei 2009, hal. 70-79)
Malik bin Dinar merupakan seorang ulama yang cukup terkenal di zamannya. Dan, pada waktu itu, terdapat dua orang kaka beradik yang beragama Zoroaster (Majusi) yang peribadatannya memakai media menyembah api.
Pada suatu hari, salah seorang dari dua orang penyembah api ini, yang telah menyembah api selama 35 tahun, berkata kepada orang yang satunya, yang lebih tua darinya, yang telah menyembah api selama 73 tahun.
“Wahai Kanda, kita telah menyembah api begitu lama, sekarang mari kita mencoba, apakah api itu setia kepada kita dan memahami balas budi,” begitu kata si adik.
“Bagaimana caranya, Dinda?” sahut sang kakak.
“Kita coba dengan cara memanggang jari-jari tangan kita, apakah kita masih terbakar sebagaimana mereka yang tidak pernah menyembahnya atau bagaimana. Jika saja kita masih terbakar, sebaiknya kita tinggalkan saja api itu. Dan, jika tidak apa-apa, kita akan meneruskan menyembahnya sampai akhir hayat!” sambung si adik.
“Silakan, silakan, aku setuju usulmu itu,” jawab si kakak.
Keduanya pun menyalakan api, lantas si adik berkata kepada kakanya, “Siapa yang akan mencoba lebih dulu, aku atau Kanda?” tawar si adik.
“Sebaiknya engkau dulu saja, Dinda,” tukas sang kaka.
Segera saja si adik memanggang tangannya di atas api yang cukup besar. Namun, ia begitu terkejut, ternyata tangannya masih juga merasa panas bahkan kulit luarnya menghitam dan melepuh. Maka, dengan marah, dia berkata, “Hai api, kau sudah aku sembah sekian lama, naun mengapa masih juga membakarku, mengapa tidak ada sedikit rasa toleran,” ujar si adik.
Sejenak kemudian, dia mengajak sang kakak untuk beralih saja memeluk ajaran Islam yang telah lama didengarnya. Namun sang kakak rupanya lebih mencintai api, sehingga dengan berterus-terang menolak ajakan sang adik, bahkan mulai menyebarkan fitnah yang dihembuskan ke sanak keluarga yang lain untuk memojokkan si adik yang mulai melihat cahaya kebenaran itu. Maka, sejak itu, di komunitas yang tidak seberapa besar itu mulai terjadi pergolakan batin. Kebanyakan saudara-saudaranya menghalangi si adik tadi untuk beralih keyakinan. Rintangan itu semakin hari dirasakannya semakin memanas. Akhirnya, dia dan seluruh anak istrinya diusir dari komunitas itu. Dan, si adik beserta keluarganya pun keluar dari desa tersebut tanpa tujuan pasti. Tetapi, keyakinannya memang sudah bulat, semangatnya tidak pudar untuk mencari ridha Allah.
Dengan bekal seadanya, sehari semalam dia menempuh perjalanan yang diraskannya begitu berat untuk menemui Syekh Malik bin Dinar. Pada akhirnya, apa yang menjadi maksudnya itu terlaksana juga, maka bertemulah dia dengan beliau. Pada kesempatan itu, kebetulan sekali beliau sedang mengadakan ceramah yang dihadiri oleh berbagai kalangan. Si pemuda tadi memberanikan diri untuk segera bertemu dengannya, kendati Syekh Malik bin Dinar masih berada di atas mimbar di sebuah panggung, dengan menyodorkan tulisan “interupsi sebentar”. Maka, Malik bin Dinar pun segera turun dari mimbar dengan mengatakan, Para hadirin, tunggu sebentar, ada persoalan yang tampaknya memerlukan penyelesaian dengan segera.”
Maka, hadirin pun terbengong-bengong. Ada pula yang khawatir jangan-jangan pembicaraan Syekh menyinggung SARA yang didengarkan oleh intelijen kerajaan.
“Ada apa anak muda?” tanya Syekh Malik ketika turun dari mimbar.
“Saya sekeluarga mohon disyahadatkan sekarang juga,” jawab pemuda itu tegas.
“Bagaimana kronologis yang engkau alami sehingga memilih Islam sebagai jalan hidupmu?” tanya Malik lagi.
Pemuda itu lantas menceritakan seluruh apa yang dia lakukan bersama kakaknya itu serta mengenai tanggapan masyarakatnya, sehingga Syekh Malik sendiri sangat terkesan.
“Mari kita naik ke panggung sebentar saja, dan ajaklah seluruh anak istrimu mendekati mimbar pula,” lanjut Syekh Malik.
Pemuda itu beserta keluarganya pun naik ke atas mimbar, kemudian Syekh Malik menjelaskan kronologi keislaman mereka, tidak lupa mengenai asal-usul dan sebab-sebab ketertarikan mereka kepada Islam. Kemudian, mereka disyahadatkan bersama.
Demi mendengarkan kisah ini, hadirin banyak yang berlinangan air mata karena haru. Ternyata, hidayah Allah itu bisa bersemayam pada siapa saja yang Dia kehendaki.
“Prosesi ini kami kira telah cukup, wahai Syekh Malik! Kami akan segera turun dari mimbar,” pinta pemuda itu.
“Nanti dulu, ini merupakan kesempatan yang baik. Akan aku kumpulkan dana untukmu dari hadirin, wahai pemuda!” jawab Syekh Malik lagi.
“Aku tidak akan menjual agama dengan harta dunia, terima kasih,” jawab pemuda itu singkat, lantas mengajak keluarganya turun dari panggung dan keluar menerobos keramaian.
Namun, begitu keluar dari majelis ta’lim itu, dia menjadi kebingungan, ke mana keluarganya hendak dibawa pergi. Dengan hati galau, dia meneruskan perjalanannya yang tidak menentu itu, dan sampailah mereka pada rumah reot yang sudah tidak berpenghuni lagi. Seluruh keluarganya disuruhnya masuk ke situ dan melakukan ibadah seperlunya. Malamnya, mereka pun beribadah begitu khusyuk, bersyukur kepada Allah atas nikmat dan rahmat besar yang telah diberikan kepadanya. Terutama, di akhirat nanti, dia beserta keluarganya jelas akan terselamatkan dari siksa yang abadi di dalam neraka. Betapa teduh hati mereka kali ini, seakan mendapat jiwa yang baru, kendati rumahnya dahulu dan segala isinya telah ditinggalkan begitu saja.
Setelah seluruh keluarganya menunaikan shalat Subuh, istri pemuda itu dengan hati bimbang menyarankan agar suaminya pergi ke pasar mencari rezeki dengan jalan apa saja asalkan halal untuk mengisi perut mereka yang sejak kemarin belum terisi barang sesuap saja. Maka, dengan bertawakkal, pergilah pemuda itu tanpa membawa peralatan ataupun uang untuk membeli kebutuhannya. Dia hanya mengandalkan kekuatan tubuh menunggu siapa saja yang membutuhkan jasanya. Tetapi, sampai matahari condong ke barat, belum juga ada seseorang yang memanfaatkan jasanya. Maka, diputuskan saja untuk pergi ke sebuah masjid dan menjalankan shalat sunnah sebanyak-banyaknya sampai hari menjelang malam. Setelah itu, baru dia pulang menemui keluarganya tanpa memperoleh hasil sepeser pun.
Begitu sampai di halaman tempat tinggalnya, istrinya menyongsong dan bertanya, “Bagaimana usaha Kanda? Adakah Kanda membawa hasil ke rumah ini?” tanya sang istri dengan nada memelas.
“Aku bekerja keras hari ini pada Satu Majikan yang betul-betul kaya, namun belum mendapat upah, mungkin besok saja upah itu akan aku terima,” begitu jawab pemuda itu menerawang.
Maka, seluruh keluarganya di malam itu menahan lapar, hanya airlah satu-satunya yang mereka dapatkan untuk membasahi kerongkongan.
Pagi-pagi buta, pemuda itu berangkat ke pasar lagi untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, sampai siang, rupanya nasib baik belum berpihak juga padanya. Hari itu dia tidak mendapatkan apa-apa. Lalu, dia pergi ke masjid sebagaimana kemarin, dan beribadah suntuk sampai menjelang malam. Setelah itu, pulanglah dia dengan tangan hampa. Maka, dua hari sudah perut mereka hanya terisi air.
Pada hari ketiga, kebetulan itu adalah hari Jum’at, dengan tidak kenal putus asa, dia pergi lagi ke pasar. Tetapi, sampai siang, ia tidak juga mendapatkan hasil apa pun. Tampaknya, nasib buruk sedang mendera keluarga mualaf ini. Maka, diputuskannya pula untuk segera pergi ke masjid dan melakukan shalat sunnah dua rakaat. Setelah shalat itulah, dia berdoa begitu khusyuk, seakan doa penentuan, seraya kedua belah tangannya diangkat tinggi-tinggi.
“Ya Allah, demi kemuliaan agama yang aku peluk ini, demi kemuliaan hari Jum’at ini, hendaklah Engkau singkirkan segala penderitaan, terutama susahnya mencari rezeki, dari hati keluarga kami. Aku sangat mengkhawatirkan sekali terjadi keguncangan akidah keluarga kami yang masih ranum ini. Ya Allah, Engkau Maha Pemurah,” begitu dia mengucapkannya dengan linangan air mata.
Sebelum shalat Jum’at ditunaikan, tampaklah ada seseorang yang sangat tampan memasuki rumah keluarga pemuda itu dengan membawa nampan emas yang tertutup kain yang begitu indah. Setelah ia mengetuk pintu, istri pemuda itu keluar seraya menanyakan maksud kedatangannya dan mempersilakan duduk, namun orang itu hanya berdiri saja. Hanya saja, dia mengatakan, “Katakanlah pada suamimu, nampan dan isinya ini sebagai upah kerjanya tiga hari ini, terutama kerja lemburnya di hari Jum’at ini, dan sampaikan salam dariku!” itu saja ucapannya, kemudian langsung berpamitan.
Sang istri itu menerima nampan tersebut dengan girang sekali. Lalu, segera saja nampan itu dibukanya, terbelalak dia menyaksikan isinya, sebuah bungkusan berisi uang emas seribu dinar. Segera saja, dia mengambil satu keping untuk ditukarkan dengan uang kecil di tempat penukaran uang. Begitu pemilik kedai melihat keping dinar yang dibawanya, dia takjub sekali, betul-betul lain daripada yang lain. Sangat bagus dan lebih besar dari ukuran semestinya, ukirannya begitu indah. Dia mencoba menimbangnya, ternyata lebih berat daripada dinar yang lazim, mengherankan sekali, sehingga dia bertanya pada wanita itu, “Dari mana Ibu mendapatkan uang ini?”
Maka, berceritalah dia mengenai keislaman keluarganya yang sejak awal telah mengundang pro dan kontra itu sampai selesai. Demi mendengarkan cerita ini, pemilik kedai ini langsung mengatakan, “Ajarilah saya sekarang juga untuk masuk Islam.”
Dengan sabar, wanita itu mengajarinya untuk membaca dua kalimah syahadat sampai betul-betul lancar, kemudian ia menyatakan diri untuk masuk Islam.
Ketika wanita itu mau berpamitan, uang dinar itu diserahkannya kembali padanya dan malah ditambah seribu keping dinar biasa sebagai tanda terima kasih.
Di saat istrinya pergi itulah, si pemuda tadi pulang dari menunaikan shalat Jum’at dengan tangan hampa. Begitu galau hatinya, bagaimana jika nanti istrinya bertanya mengenai hasil kerjanya, bagaimana pula keluarganya yang tengah menderita kelaparan? Maka, ia pun memutuskan untuk melepas kain sarung yang dipakainya, kemudian diisi debu agar istrinya kegirangan sebentar kendati akhirnya akan terkena marah. “Biarlah dia menyangka ini sebagai makanan,” gumam pemuda itu.
Namun, setelah mendekati rumah, dia mencium bau makanan yang tengah dimasak. Maka, daripada terkena malu, beban itu segera saja ditaruh di samping rumah. Ternyata, sang istri lebih dahulu membawa berbagai bahan makanan. Begitu mengetahui sang suami pulang, dia segera menunjukkan bungkusan uang yang ada di nampan serta menceritakan asal-usul semua itu. Sang suami hanya terbengong-bengong. Seluruh isi keluarga itu hanya takjub dan heran mengenai apa yang telah terjadi. Pada akhirnya, mereka menyadari bahwa semua itu hanya atas kuasa dan izin Allah semata. Maka, si pemuda itu segera bangkit mengajak mereka untuk melakukan sujud syukur bersama sebaia tanda terima kasih kepada Allah.
Setelah agak lama, sang istri bertanya, “Kanda tadi sepertinya membawa bungkusan besar, namun di mana sekarang?”
“Dinda tidak perlu tahu, bungkusan itu telah aku buang,” jawab pemuda itu khawatir kedoknya terbongkar.
Tetapi, sang istri ternyata belum puas mendapat jawaban seperti itu, ia pun lantas keluar mencermati seluruh apa yang berada di sekeliling rumah. Dan, ia pun akhirnya menemukan bungkusan sarung tersebut. Lalu, ia pun membukanya. Dengan seizin Allah, debu tadi telah berubah menjadi makanan yang begitu lezat.
———————————————————————————————————————————
“Hai anak Adam, luangkan waktu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku menghindarkan kamu dari kemelaratan. Kalau tidak, Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan kerja dan Aku tidak menghindarkan kamu dari kemelaratan.” (Hadits Qudsi riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
sumber:berbagai sumber