[Khazanah]:Banyak umat Islam yang tidak memahami
perbedaan antara Hibah, Wasiat dan Warisan. Meskipun antara ketiga
istilah tersebut memiliki kesamaan, yaitu membagi-bagikan harta, akan
tetapi dalam Syari'at Islam ketiganya memiliki hukum masing-masing.
Berikut penjeleasan mengenai Hibah, Wasiat dan Warisan serta hukum-hukum
Syar'i yang berkenaan dengan ketiga istilah tersebut, yang disampaikan
DR. Ahmad Zain An Najah, MA dalam kajian Sabtu pagi di Masjid
Darussalam, Kota Wisata,
Jl. Boulevard Utama No. 1 Kota wisata, Gunung Putri, Bogor-Jawa Barat:
Jl. Boulevard Utama No. 1 Kota wisata, Gunung Putri, Bogor-Jawa Barat:
Hadirin kaum muslimin dan muslimat jama’ah Masjid Darussalam Rahimakumullahu..,
Pada bulan Dzulqa’dah ini banyak
diantara kita yang barangkali ingin melakukan ibadah haji. Dan juga
banyak yang ingin safar, karenanya perlu bagi kita meninggalkan wasiat
kepada keluarga, jika nanti seumpamanya kita tidak kembali.
Apabila kita saksikan sebagian jama’ah
haji ketika mau berangkat haji, seluruh kampung ikut mengantar sampai
Bandara Soekarno Hatta, padahal yang naik Haji cuma satu orang, tapi
yang mengantar tiga bis. Kenapa? Karena barangkali itu adalah pertemuan
terakhir, jama’ah haji tersebut tidak kembali lagi karena berkeinginan
untuk meninggal di Makkah atau Madinah dan itu tidak disalahkan.
Karena beliau Umar bin Khattab Radhiallahu ‘Anhu sendiri bercita-cita untuk mati syahid di kota Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Bahkan Nabi Isa bin Maryam yang akan turun kembali di muka bumi untuk
menegakkan syariat Nabi Muhammad di akhir zaman pun, ketika beliau
memimpin dunia ini selama beberapa puluh tahun, beliau juga akhirnya
berhaji, kemudian mengunjungi kota Madinah dan meninggal di situ lalu
dikuburkan di samping kuburan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Jadi tidak aib dan berdosa jika
sekiranya ada jama’ah haji yang bercita-cita mau haji, kemudian tidak
balik lagi karena ingin meninggal di Madinah atau Makkah. Maka
teman-teman yang mengantar hendaknya merelakan jika seumpama jama’ah
haji tersebut ditakdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala meninggal di kedua kota suci tersebut.
Oleh karena itu, orang-orang dalam
keadaan seperti ini perlu meninggalkan wasiat kepada keluarga, anak dan
istrinya supaya nanti sepeninggalnya tidak ada keributan dalam membagi
harta warisan. Tetapi yang tidak haji pun boleh meninggalkan wasiat,
dan ini dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Hendaknya sebelum tidur meninggalkan wasiatnya disamping bantalnya.
Ketika tidak bangun kembali, maka seluruh wasiat tersebut telah
tertulis di samping bantalnya sehingga tidak terjadi keributan di dalam
membagi harta warisan.
Tetapi ada beberapa kalangan dalam keadaan sehat wal afiat, hartanya banyak, anaknya banyak, daripada anak mereka bertengkar “saya bagi harta itu sejak sekarang”. Karena itu ada pertanyaan, “Bagaimana hukum membagi harta warisan sebelum meninggal dunia?” Jawaban pertama, pertanyaan itu salah. Kenapa salah? Karena judulnya “membagi harta warisan sebelum meninggal dunia.” Sebab
harta warisan itu hanya ada kalau orangnya sudah meninggal dunia. Lalu
bagaimana seharusnya judul yang benar? Judul yang benar yaitu “membagi harta sebelum meninggal dunia”, atau “membagi harta warisan setelah meninggal dunia.”
Tetapi kenyataannya memang demikian,
banyak kalangan umat Islam yang melakukan pembagian harta sebelum
meninggal, disebabkan orang-orang jujur sudah mulai sedikit pada hari
ini. Bahkan ahli waris sering berebut harta warisan. Dan tidak sedikit
dari ahli waris tersebut ketika ayahnya berada di rumah sakit,
berkeinginan agar ayahnya cepat mati. Bahkan yang sangat sadis dengan
membunuh orangtuanya, dengan tujuan tidak langsung agar mendapatkan
harta warisan.
Sebagian yang lain, ada seorang suami
yang mempunyai anak 4, dia mencintai anak yang paling besar, maka dia
berikan harta itu kepada anak yang paling besar. Kemarin ada jama’ah
yang bertanya, ia mempunyai 3 anak, dua anak lali-laki dan satu anak
perempuan, lalu ia memberikan hibah 1 rumah kepada anak perempuannya.
Hal ini terjadi di Sumatera, karena di Sumatera ada sebagian daerah
yang menekankan supaya harta warisan diberikan kepada anak perempuan,
sementara adik laki-lakinya yang lain tidak diberikan dengan dalih
mereka bisa bekerja karena mereka adalah laki-laki, harta ini diberikan
sebelum meninggal dunia.
Seolah-olah memberikan rumah kepada anak
perempuan sesuai dengan Islam karena menolong orang-orang yang lemah,
yaitu perempuan yang tidak bekerja. Tetapi pada hakekatnya ini adalah
perbuatan dzalim. Kenapa? Karena anaknya 3, kenapa yang diberi cuma
satu saja. ini merupakan pemberian yang tidak adil dan merupakan sebuah
dosa.
HIBAH
Harta Pemberian (Hibah) adalah harta yang diberikan oleh seseorang secara cuma-cuma pada masa hidupnya. (Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 6/246)
Pemberian-pemberian sebelum meninggal
dunia disebut dengan hibah, bukan warisan. Pemberian yang diberikan
dalam keadaan sakit berat yang biasanya menyebabkan seseorang meninggal
dunia, seperti gagal ginjal, atau mengalami kecelakaan maut di jalan
tol. Atau ketika dalam keadaan sakaratul seseorang memberikan sesuatu
kepada saudaranya, maka tidak disebut dengan hibah karena dalam keadaan
sakaratul maut. Jumhur ulama’ mengatakan “ini adalah wasiat”. Tapi kalau sudah meninggal dunia maka disebut dengan “warisan”.
Hibah (pemberian) itu sah jika diberikan
seseorang dalam keadaan sehat wal afiat. Ketika khawatir jika
anak-anaknya nanti bertengkar tentang harta warisan, maka ia dibolehkan
untuk membagi hartanya. Misalnya masing-masing anaknya diberikan satu
rumah.
Jika seseorang telah menghibahkan
sesuatu kepada anaknya atau orang lain, maka detik itu juga hak
kepemilikannya berpindah, walaupun belum ganti nama. Ganti nama ini
sekedar formalitas di negeri kita. Banyak bapak-bapak yang membeli
mobil atas nama istrinya, padahal mobil itu miliknya. Daripada kena
pajak progessif karena mempunyai dua mobil, maka mereka menggunakan
nama istrinya. Tiba-tiba suatu ketika sang suami menikah lagi,
sementara istrinya tidak rela, akhirnya apa? Harta itu diakui hartanya.
Di depan pengadilan, sang isteri akan menang, kenapa? Karena mobil
atau rumah tersebut diatas namakan dirinya. Walaupun pada hakekatnya
mobil/rumah tersebut milik suaminya.
Sebab itu, harus dipisahkan antara harta
istri dan suami, jangan dicampur. Karena kalau dicampur akan membuat
bingung. Inilah yang menjadi sebab perselisihan antara suami isteri.
Ketika keduanya bercerai, sang isteri meminta harta gono-gini terlebih
dahulu. Harta gono gini ini hanya ada di Indonesia yang bermaksud bahwa
harta gono gini itu adalah harta campuran penghasilan antara suami
isteri selama mereka menikah, ini terdapat dalam kompilasi hukum Islam .
Namun pengertian ini kurang tepat, sebab suami mempunyai harta sendiri
dan istri juga punya harta sendiri. Karena itu ada istilah warisan
setelah suami meninggal dunia.
Sebab, sang istri akan mendapat ¼ jika
suami tidak mempunyai anak darinya, dan mendapat 1/8 jika suaminya
punya anak darinya. Ada satu kasus Di Bandung, seorang ahli bedah baru
menikah pada usia 70 tahun. Untuk apa ia menikah? Ternyata ia menikah
karena ingin menyelamatkan hartanya. Ia menikah dengan seorang janda
yang mempunyai 2 anak perempuan. Ketika sang professor meninggal dunia,
terjadilah keributan. Kenapa? Karena saudara-saudara professor juga
menuntut harta professor tersebut. Tetapi saudara-saudara aslinya telah
meninggal dunia, yang ada hanya anak dari saudaranya (keponakannya)
baik dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan.
.وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ
إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ
الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ
دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ
وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم
مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.Para istri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu.” (An-Nisa’: 12)
Ketika terjadi pembagian warisan, sang istri mengatakan bahwa “suaminya menghibahkan hartanya kepadanya”,
kalau istri mendapatkan ¼, boleh ia mendapatkannya. Kenapa? Walaupun
istri ini mempunyai anak, tetapi anaknya itu dari suami lain, bukan dari
sang professor yang meninggal.
Lalu harta selebihnya diberikan kepada
keponakannya (professor) dari saudara laki-laki, bukan keponakan dari
saudara perempuan. Karena ahli waris perempuan jika telah meninggal
dunia, tidak ada yang meneruskan, dan hubungan warisnya menjadi
terputus.
Di dalam KHI (kompilasi hukum Islam )
sendiri terjadi masalah besar yang disebut dengan pengganti waris.
Padahal di dalam Islam , tidak ada istilah pengganti waris. Ahli waris
jika telah meninggal dunia, ya sudah.
Apakah keponakan ini sebagai pengganti
waris dari bapaknya atau sebagai ganti dari saudara lakinya (professor)
yang meninggal dunia? Tidak. Karena kalaupun bapaknya meninggal dunia,
memang aslinya ia (anak) berhak mendapatkan warisan dan tidak
menggantikan posisi bapaknya. Sebagaimana “cucu perempuan” dari anak laki-laki yang meninggal mendapat warisan langsung sesuai dengan syari’at, bukan sebagai pewaris pengganti.
Maka keponakannya (professor) yaitu anak dari saudara laki-lakinya mendapat “Ashabah” (sisa) dari harta warisan sebesar 3/4. Tetapi masalahnya, ketika istri Professor mengatakan “saya mendapatkan hibah dari suami”, lalu ditanyakan mana bukti hibah itu? Dihilangkan oleh keponakan suaminya, jawabnya.
Lalu mana yang kita benarkan?
Membenarkan istri atau keponakannya? Keduanya tidak ada bukti. Untuk
zaman sekarang, sesuatu jika tidak ada buktinya, maka susah untuk
menghukuminya. Alhasil kita menghukumi secara lahirnya bahwa si istri
ini dapat ¼, adapun tentang hibahnya, tidak ada bukti.
Sebab itu, agar sebuah hibah menjadi sah
dan tidak berpotensi menimbulkan konflik di masa mendatang, maka
haruslah dipenuhi syarat-syarat berikut:
1. Surat Pernyataan Hibah
Orang yang akan memberikan hartanya
kepada orang lain sebagai hibah harus menandatangani surat pernyataan
di atas kertas bermaterai. Di atas pernyataan itu dijelaskan jenis
hartanya, nilainya, dan kepada siapa pemberian itu ditujukan.
Selain itu, pernyataan itu harus
mendapatkan persaksian dari pihak lain yang dipercaya (hukumnya sunnah
dan lebih baik). Dan terutama sekali juga harus ditandatangani oleh
para calon ahli waris si pemberi hibah agar tidak muncul masalah di
kemudian hari.
Jadi agar hibah tidak menimbulkan konflik, surat pernyataan harus dibuat secara sah dan resmi.
2. Pengurusan Surat Kepemilikan
Setelah surat pernyataan hibah
ditandatangani oleh semua pihak yang terkait, selanjutnya harus
dilengkapi pengurusan surat bukti kepemilikan atas suatu harta.
Misalnya, ketika seorang ayah
menghibahkan rumah kepada anaknya, maka hibah itu baru sah dan resmi
secara hukum manakala surat-surat kepemilikan atas rumah itu sudah
diselesaikan. Misalnya, sertifikat tanah itu sudah dibalik-nama kepada
anaknya.
Apabila yang dihibahkan berupa kendaraan bermotor, maka STNK dan BPKB harus dibalik-nama pada saat penghibahan itu.
3. Penyerahan Harta
Bila harta itu berupa uang tunai, maka
baru bisa disebut hibah kalau memang sudah diserahkan secara tunai,
bukan sekedar baru dijanjikan.
Sebagai pihak yang diberikan hibah,
sebaiknya jangan merasa sudah memiliki harta kalau harta itu secara
fisik belum diserahkan. Kalau baru sekedar omongan, janji, keinginan,
niat dan sejenisnya, harus disadari bahwa semua itu belum merupakan
pemindahan kepemilikan.
Kalau ini dikatakan wasiat, tidak boleh.
Karena wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris, apalagi kepada
istri. Yang benar adalah hibah jika ada bukti, namun jika tidak ada
bukti, si istri tetap mendapatkan ¼, dan selebihnya diberikan kepada
keponakannya.
Hibah menghendaki adanya penghibah, orang yang diberi hibah, dan sesuatu yang dihibahkan.
Diantara Syarat-Syarat Penghibah
- Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan dan benar-benar memiliki harta tersebut.
- Penghibah itu benar-benar ikhlas tidak dipaksa, sebab hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.
- Orang yang mendapat hibah, menerima hibah tersebut.
- Kepemilikan pindah saat hibah diberikan, tidak harus menunggu meninggal dunia.
Bagaimana dengan saksi? Saksi itu dalam
setiap transaksi hukumnya adalah sunnah. Termasuk dalam jual beli,
hutang piutang ataupun hibah. Namun jika transaksi tersebut bernilai
tinggi/berharga maka mengharuskan menghadirkan saksi karena jauh lebih
baik. Hanya satu saja, yang mewajibkan adanya saksi yaitu dalam akad
pernikahan. Padahal pernikahan termasuk bidang muamalah, namun muamalah
khusus. Para ulama’ memisahkan antara muamalah dalam arti jual beli
dan lain-lain, dan muamalah dalam arti pernikahan. Akad nikah ini
harus ada saksi, jika tidak ada maka akad nikah tersebut tidak sah.
Apakah hibah ini harus sama
pembagiannya antara satu anak dengan anak lainnya? Atau antara
laki-laki dan perempuan, ataukah harus dibedakan antara satu dengan
yang lainnya ?
Para ulama berbeda pendapat di dalam
masalah ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa semua anak harus
disamakan, tidak boleh dibedakan antara satu dengan yang lainnya. (Ibnu
Jauzi, al Qawanin al Fiqhiyah, Kairo, Daar al hadits). Sedangkan ulama
Hanabilah (para pengikut imam Ahmad) menyatakan bahwa pembagian harus
disesuaikan dengan pembagian warisan yang telah ditentukan dalam al
Qur’an dan hadist.
Tetapi pendapat yang lebih tepat adalah dirinci terlebih dahulu, yaitu sebagai berikut:
Pertama: jika tidak ada
unsur yang membedakan antara mereka, seperti semua anak masih
kecil-kecil semua, sebaiknya disamakan, agar terjadi keadilan.
Dalilnya adalah hadits di bawah ini:
Dari sahabat An-Nu’maan bin Basyiir, beliau berkata,
أَعْطَانِي أبي عَطِيَّةً فقالت عَمْرَةُ
بِنْتُ رَوَاحَةَ لَا أَرْضَى حتى تُشْهِدَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فقال إني أَعْطَيْتُ
ابْنِي من عَمْرَةَ بِنْتِ رَوَاحَةَ عَطِيَّةً فَأَمَرَتْنِي أَنْ
أُشْهِدَكَ يا رَسُولَ اللَّهِ قال أَعْطَيْتَ سَائِرَ وَلَدِكَ مِثْلَ
هذا قال لَا قال فَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا بين أَوْلَادِكُمْ قال
فَرَجَعَ فَرَدَّ عَطِيَّتَهُ
“Ayahku (Basyiir) memberikan suatu
pemberian kepadaku, maka Ibuku ‘Amrah binti Rawaahah berkata, “Aku
tidak ridha sampai engkau menjadikan Rasulullah sebagai saksi (atas
pemberian ini)”. Maka ayahkupun mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam lalu berkata, “Aku telah memberikan kepada anakku -dari istriku
‘Amrah binti Rawaahah- sebuah pemberian, lantas istriku memintaku untuk
meminta persaksian darimu wahai Rasulullah”. Nabi berkata, “Apakah
engkau juga memberikan kepada seluruh anak-anakmu sebagaimana yang kau
berikan kepada An-Nu’maan?”. Ayahku berkata, “Tidak”. Nabi berkata,
“Bertakwalah engkau kepada Allah, dan bersikaplah adil terhadap
anak-anakmu!”. Maka ayahkupun balik dan mengambil kembali pemberian
yang telah ia berikan.” (HR. Al-Bukhari)
Adapun pemberian yang diberikan kepada An-Nu’man dari ayahnya adalah seorang budak milik ayahnya. (lihat HR. Abu Dawud)
Dalam lafal yang lain Rasulullah mengulang-ngulang perkataannya,
اعْدِلُوا بين أَوْلَادِكُمْ اعْدِلُوا بين أَبْنَائِكُمْ
“Bersikalah adil terhadap anak-anakmu, bersikaplah adil terhadap anak-anakmu.” (HR. Abu Dawud)
Dalam lafal yang lain Rasulullah berkata (dalam konteks larangan)
لَا تُشْهِدْنِي على جَوْرٍ
“Janganlah engkau menjadikan aku saksi atas suatu kedzaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam lafal yang lain Rasulullah bersabda:
فَأَشْهِدْ على هذا غَيْرِي ثُمَّ قال أَيَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا إِلَيْكَ في الْبِرِّ سَوَاءً قال بَلَى قال فلا إِذًا
Carilah orang selainku untuk menjadi
saksi atas hal ini !, Apakah senang jika seluruh anak-anakmu sama
berbakti kepadamu?, ayahku berkata, “Tentu saja”, Nabi berkata, “Kalau
bagitu jangan (kau berikan pemberian terhadap An-Nu’maan).” (HR. Muslim)
Dari hadits di atas jelas bahwasanya
ayah An-Nu’man yang bernama Basyiir berpoligami, dan An-Nu’maan adalah
seorang anak dari salah satu istrinya yang bernama ‘Amrah binti
Rawaahah. Dan Basyiir ingin menghadiahkan seorang budak kepada
An-Nu’man saja, sementara anak-anaknya yang lain dari istri-istri yang
lainnya tidak ia berikan hadiah sebagaimana ia berikan kepada Nu’man.
Banyak ulama yang berpendapat bahwa
hadiah yang diberikan oleh seorang ayah kepada anak-anaknya dengan
tidak adil merupakan kedzaliman dan tidak sah, maka harus dikembalikan
hadiah tersebut. Ini merupakan pendapat Madzhab Hanaabilah dan Madzhab
dzohiriah, dan dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah.
Ibnu Qudamah Rahimahullahu dari madzhab Hanbali berkata, “Wajib
bagi seseorang untuk menyamaratakan di antara anak-anaknya dalam hal
pemberian –jika salah seorang diantara mereka tidak memiliki kondisi
khusus yang membolehkan untuk dilebihkan dalam pemberian-. Jika ia
mengkhususkan sebuah pemberian kepada sebagian anak-anaknya atau tidak
sama rata dalam pemberian di antara anak-anaknya maka dia telah berdosa.
Dan wajib baginya untuk menyamatarakan dengan salah satu dari dua
cara, dengan mengambil kembali kelebihan pemberian yang telah
diberikannya kepada sebagian anak-anaknya atau dengan menambah
pemberian kepada anak-anaknya yang lain (sehingga sama rata).“ (Al-Mughni 8/256)
Ibnu Hazm Rahimahullahu berkata, “Tidak
halal bagi seorangpun untuk memberi hadiah atau memberi shadaqah
kepada salah seorang anaknya hingga ia memberikan yang sama kepada
seluruh anak-anaknya. Dan tidak halal ia memberikan kepada anak lelaki
lebih dari anak perempuannya atau sebaliknya. Jika dia melakukannya
maka hadiah tersebut batal dan tertolak selamanya.“ (Al-Muhallaa 9/142)
Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu pernah ditanya, “Tentang
seseorang yang mengkhususkan sebagian anak-anak putrinya dengan
memberikannya sekitar 200 ribu dirham, dan sebagian lagi diberikan wakaf
sebagian hartanya. Apakah ahli waris orang ini berhak untuk
membatalkan ini semua atau tidak?”
Ibnu Taimiyyah menjawab, “Alhamdulillah,
bahkan wajib baginya untuk berbuat adil diantara anak-anaknya
sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan RasulNya, sebagaimana telah
valid dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bahwasanya beliau berkata kepada Basyiir bin Sa’d, “Bertakwalah engkau
kepada Allah dan bersikaplah adil diantara anak-anakmu.” Beliau juga berkata, “Janganlah menjadikan aku saksi atas kedzaliman!,”
dan Nabi memerintahkannya untuk mengembalikan kelebihan (harta yang
telah ia hadiahkan kepada An-Nu’maan-pent) kepada seluruh anak-anaknya.
Maka jika orang ini telah meninggal
dan ia tidak berbuat adil maka kedlalimannya harus ditolak menurut
pendapat yang lebih kuat diantara dua pendapat para ulama, sebagaimana
diperintahkan oleh Abu Bakr dan Umar terhadap harta Sa’d bin ‘Ubaadah.
Dan seluruh anak-anaknya yang terdlalimi berhak untuk menuntut hak
mereka dan berhak untuk membatalkan pengkhususan (hadiah harta yang
telah dilakukan ayah mereka-pent) yang menjadikan mereka terdlalimi.
Dan sikap membantu anak-anak tersebut dalam rangka agar mereka
memperoleh hak mereka termasuk perbuatan amalan shaleh yang pelakunya
diberi pahala oleh Allah.“ (Jaami’ul Masaail 4/339)
Kedua: Jika ada hal
yang menuntut untuk dibedakan karena ada unsur maslahatnya, maka
dibolehkan untuk membedakan antara anak satu dengan yang lainnya,
seperti anak yang satu sudah menikah dan mempunyai tanggungan istri dan
anak, sedangkan dia termasuk orang yang membutuhkan bantuan, maka anak
ini boleh diberikan jatah lebih banyak. Apalagi anak yang lain masih
kecil-kecil dan belum mempunyai banyak keperluan. Dalilnya adalah apa
yang dilakukan oleh Abu bakar as Shiddiq terhadap anaknya Aisyah Radiallahu ‘Anha ketika memberinya harta yang lebih (20 wisq) dari anak-anaknya yang lain.
Sebagian ulama menyatakan jika seorang
ayah memberikan salah satu anaknya uang yang cukup banyak, seperti
membantunya di dalam membayarkan mahar pernikahannya, atau membayarkan
uang perkuliahannya, maka seharusnya dia juga memberikan kepada
anak-anaknya yang lain dalam jumlah yang sama. Tetapi, jika sebagian
dari anaknya menderita cacat seperti buta, atau lumpuh kakinya,
sehingga tidak bisa bekerja dengan maksimal, maka dibolehkan bagi orang
tua untuk memberinya lebih dari anak-anaknya yang lain. (Majalah Al Azhar, Kairo , edisi III, tahun ke- 14)
WASIAT
Harta Wasiat adalah harta yang
diwasiatkan seseorang sebelum meninggal dunia dan seseorang tersebut
baru berhak menerimanya setelah yang memberi wasiat meninggal dunia. (Abu Bakar Al Husaini, Kifayah al Akhyar, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, hlm 454)
Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala berfirman:
……….مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ …………
“(Pembahagian itu) ialah sesudah diselesaikan wasiat oleh simayit dan sesudah dibayarkan hutangnya.” (An-Nisa’: 11)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ
بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ
اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ
أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ …
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan
berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang
adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan
kamu[454], jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa
bahaya kematian….” (al-Maidah: 106)
[454] ialah: mengambil orang lain yang
tidak seagama dengan kamu sebagai saksi dibolehkan, bila tidak ada
orang Islam yang akan dijadikan saksi.
Adapun jika pembagian harta dilakukan
dalam keadaan sakit berat yang kemungkinan akan berakibat kematian,
maka para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah termasuk kategori hibah,
tetapi sebagai wasiat, sehingga harus memperhatikan ketentuan sebagai
berikut:
- Dia tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, seperti: anak, istri, saudara, karena mereka sudah mendapatkan jatah dari harta warisan, sebagaimana yang tersebut dalam hadist: “Tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Ahmad dan Ashabu as-Sunan). Tetapi dibolehkan berwasiat kepada kerabat yang membutuhkan, maka dalam hal ini dia mendapatkan dua manfaat, pertama: Sebagai bantuan bagi yang membutuhkan, kedua: Sebagai sarana silaturahim.
- Dia boleh berwasiat kepada orang lain yang bukan kerabat dan keluarga selama itu membawa maslahat.
- Wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dari seluruh harta yang dimilikinya. Dan dikeluarkan setelah diambil biaya dari pemakaman.
- Wasiat ini berlaku ketika pemberi wasiat sudah meninggal dunia.
HARTA WARISAN
Harta Warisan menurut pengertian ulama faraidh adalah harta yang ditinggalkan oleh mayit. (Shaleh Fauzan, at Tahqiqat al Mardhiyah fi al Mabahits al Fardhiyah, Riyadh, Maktabah al Ma’arif, hlm 24). Jadi harta yang pemiliknya masih hidup bukanlah harta warisan, sehingga hukumnya berbeda dengan hukum harta warisan.
Di dalam Al-Quran ada beberapa ayat yang
secara detail menyebutkan tentang pembagian waris menurut hukum Islam ,
di antaranya adalah An Nisa ayat 11, 12, 176.
Dalil dari sunnah diantaranya,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ضي الله عنه قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : أَلْحِقُوا الفَرَائِضَ
بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلأِوْلَى رَجُلٍ ذَكَر.
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
agar memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka jika masih tersisa,
hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari
‘ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut “dzakar” setelah kata “rajul”, sedangkan kata “rajul”
jelas menunjukkan makna seorang laki-laki. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk
orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak
mendapatkan warisan sebagai ‘ashabah dan menguasai seluruh harta warisan
yang ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam hal penggunaan kata “dzakar”.
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رضي الله عنه
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ
الكاَفِرَ وَلاَ الكَافِرُ المُسْلِمَ
Dari Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: ”Seorang muslim tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir tidak mendapat warisan dari seorang muslim.” (HR. Jamaah kecuali An-Nasa’i)
Umpamanya ada seorang bapak mempunyai
anak 7 dan membagi tanah kepada anak-anaknya, hal ini diperbolehkan
dengan catatan tidak menghibahkan semua hartanya. Seorang bapak tidak
layak memberikan seluruh hartanya kepada anaknya, sehingga nantinya
jika ia meninggal masih mempunyai harta warisan yang ditinggalkan.
Bolehlah jika ia memiliki beberapa rumah atau kendaraan, ia berikan
salah satunya untuk dihibahkan kepada anaknya.
Sebagian ulama’ mengatakan diantaranya Hasan Al Bashri dan Abu Tsaur Rahimahumallahu, “Kalau barang itu berupa rumah yang tidak bisa dibagi, maka jangan dibagi. Yang dibagi adalah harta yang bisa dipindah.” Cara
bijaknya adalah dengan menjual rumah warisan tersebut dan hasil
penjualannya tersebut baru dibagi kepada saudara-saudaranya sesuai
dengan ketentuan syari’at.
وَإِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ أُوْلُواْ
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينُ فَارْزُقُوهُم مِّنْهُ
وَقُولُواْ لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفاً (النساء: 8)
“Dan apabila sewaktu pembagian itu
hadir kerabat[270], anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka
dari harta itu [271] (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik.” (An Nisa’: 8)
[270] kerabat di sini maksudnya: kerabat yang tidak mempunyai hak warisan dari harta benda pusaka.
[271] pemberian sekedarnya itu tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan.
Ayat di atas menjelaskan, jika saat
pembagian harta warisan tersebut para kerabat yang memang sebenarnya
tidak mendapat warisan (sesuai ketentuan syara’) itu hadir, misalnya
ada seorang yang meninggal pada malam Idul Fitri dan pembagiannya pada
hari ‘Id, maka berikanlah kepada mereka yang hadir dari harta warisan
tersebut sekedarnya.
Ataupun kasus lain, jika seorang suami pada saat sakaratul maut ia mengatakan “wahai istriku, saya ceraikan kamu, saya ceraikan kamu, saya ceraikan kamu.” Apakah sah cerainya? Para ulama berpendapat bahwa “barangsiapa berusaha untuk memberikan madharat kepada orang lain, maka harus dibalas dengan ditahannya keinginan tersebut.”
Maksudnya adalah, jika suami tersebut menceraikan istrinya dengan niat
dan tujuan agar istri tersebut tidak mendapatkan warisan, maka cerai
tersebut tidak sah. Ataupun sah, tetapi istrinya tetap mendapatkan harta
warisan. Sebab itulah, para ulama membedakan seseorang yang berwasiat
atau berhibah pada saat sehat atau sakit. Bahkan tidak boleh
menceraikan istri, memberikan hibah kepada salah satu anaknya, atau
memberikan wasiat kepada ahli waris pada saat sakaratul maut.
Catatan:
Hendaknya para suami dan istri sejak
sekarang memisahkan antara harta suami dan istri. Kalau sebuah rumah
dibangun bersama, maka dihitung berapa saham istri dan berapa saham
suami. Memang dalam Islam ada harta bersama, tetapi harta bersama
tersebut harus jelas, supaya nanti ketika meninggal dunia tidak ada
keributan.
Misalnya saja sebuah motor, motor
tersebut dibeli siapa? Jika motor tersebut dibeli suami, maka harus
jelas apakah motor tersebut diberikan kepada istrinya atau dipinjamkan
kepada istri. Jika motor tersebut dipinjamkan maka motor tersebut
dibagi kepada ahli waris setelah suami meninggal, meskipun motor tadi
atas nama istri.
Namun bila motor tadi dihibahkan kepada istri, maka motor tersebut bukan termasuk harta warisan dan menjadi hak milik istri.
Wallahu Ta’ala A’lam